Minggu, 07 Maret 2010

PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP KRISIS IDENTITAS MUSLIM




Latar belakang
Satu hal unik yang patut dicatat adalah bahwa globalisasi belum pernah terjadi atau ditemukan pada abad-abad sebelumnya, meskipun beberapa negara atau bangsa  memiliki kekuasaan penuh (baca: menjajah) bangsa lainnya secara militer dan ekonomi. Meskipun Romawi pernah menguasai hampir semua wilayah Eropa misalnya, namun kekuasaan itu kemudian tidak melahirkan fenomena globalisasi ini.
Demikian pula jika kita menariknya jauh ke belakang di saat bangsa Eropa menggalakkan ekspedisi pencarian wilayah baru di kawasan timur bumi, sejarah tidak pernah mencatat adanya fenomena baru yang disebut globalisasi ini, meskipun sebagian negara Eropa itu berhasil menanamkan kekuatan dan kekuasaannya di berbagai wilayah timur dunia. Namun di zaman kiwari ini, di saat kita –setidaknya secara kasat mata- tidak lagi melihat bentuk-bentuk imperialisme klasik atas bangsa lain, gelombang globalisasi dengan dukungan perkembangan telekomunikasi dan transportasi yang berkembang nyaris setiap detik, justru menjelma menjadi fenomena yang tak mungkin lagi terbendung. Kita nampaknya tidak mempunyai pilihan lain selain turut serta menjadi “pemain” dalam arusnya yang sangat kuat. Tinggal kemudian kita yang menentukan: apakah kita sekedar menjadi “pemain” yang pasrah mengikuti ke mana saja ia mengalir, atau justru menjadi “pemain” yang lihai memanfaatkan arusnya untuk mewujudkan cita-cita keislaman kita

Rumusan masalah
1.      Apa itu globalisasi?  dan  dampak negatif globalisasi terhadap identitas bangsa-bangsa dunia
2.      Bagaimana menghadapi dampak negatif globalisasi terhadap identitas muslim.



Tujuan dan kegunaan

Tulisan ini pada intinya bertujuan untuk menyampaikan gagasan seputar bagaimana seharusnya seorang muslim dapat tetap berdiri kukuh menggenggam identitasnya, sembari terus memanfaatkan kekuatan arus globalisasi tersebut untuk kepentingan Islam yang ia yakini.
Kegunaan globalisasi tentu saja didasarkan pada pandangan objektif bahwa fenomena ini tidak sepenuhnya mengandung nilai-nilai negatif. Fenomena ini sebenarnya menyimpan sebuah kekuatan yang sangat dahsyat, yang dampak-dampaknya sepenuhnya bergantung pada “siapa dan bagaimana” ia gunakan. Senjata paling mematikan yang dimiliki oleh globalisasi adalah media informasi dan sarana telekomunikasi dengan segala variannya yang berkembang setiap hari. Dan seperti yang telah disinggung sebelumnya, hari ini kita menantikan kolaborasi cantik antara ulama, pemikir, ilmuwan ahli, budayawan, dan pelaku-pelaku globalisasi muslim untuk meracik secara tepat, untuk kemudian menyajikan jawaban positif Islam atas globalisasi.
pembahasan

Apa Itu Globalisasi?
Meskipun globalisasi telah menjadi fenomena yang diakui keberwujudannya oleh semua kalangan, namun tetap saja terjadi perbedaan pandangan saat kita akan menjelaskan batasannya yang sebenarnya. Para cendekiawan yang mengurai masalah ini setidaknya terbagi menjadi beberapa “madzhab” ketika memberikan definisi terhadap globalisasi, antara lain:
Pertama, adalah yang menitikberatkan fenomena globalisasi pada bidang ekonomi. DR. Sa’ad al-Bazi’i misalnya menyebutkan:
 Globalisasi adalah penjajahan dalam pakaiannya yang baru. Dan merupakanupaya untuk melakukan persaingan yang tidak berimbang –bahkan boleh jadi tidak terhormat- dari satu sisi, dan dari sisi lain ia adalah upaya untuk melemahkan apapun yang menghalangi jalannya; baik itu berupa nilai ataupun upaya ekonomi dan pemikiran.[1] kita juga bisa mengatakan bahwa globalisasi hanya akan menambah jumlah kemiskinan dan menguntungkan korporasi-korporasi besar, yang mengakibatkan matinya usaha-usaha kecil.[2]
Kedua, yang mengaitkan globalisasi dengan sisi pemikiran dan ideologis. Suatu model yang disebut sebagai teologi global oleh John Hick, atau teologi dunia (world theology) oleh W.C. Smith.[3] DR. Muhammad ‘Abid al-Jabiry mengatakan:
Globalisasi berarti menafikan yang lain dan menjalankan ‘proses pemberangusan’ pemikiran (lain)...Ia juga berarti dominasi dan pengharusan menerapkan satu model konsumsi dan perilaku yang sama.[4] Atau dalam bahasa ide yang sama, menurut Malcom Walter, bahwa globalisasi yang datang bersama dengan kapitalisme ini malah memasarkan ideologi Barat, dan bebas menerima ideologi dan nilai-nilai kebudayaan Barat, seperti demokrasi, hak asasi manusia, feminisme, liberalisme dan sekulerisme.[5]

Ketiga, ada yang memberikan batasan bahwa globalisasi tidak lebih dari sekedar sebuah fenomena “afiliasi yang bersifat internasional”, seperti batasan yang diberikan oleh DR. Shabri ‘Abdullah:
Bahwa globalisasi adalah fenomena dimana segala hal yang berhubungan dengan ekonomi, pemikiran, sosial dan perilaku bercampur serta berkelin dan menjadi satu, hingga kemudian (hasil percampuran itu –pent) diafiliasikan kepada seluruh dunia melampaui batas-batas politis negara-negara.[6]

Kegelisahan Bangsa-bangsa Dunia Terhadap Krisis Identitas Akibat Globalisasi

Identitas adalah inti dan hakikat sesuatu. Bila ia dikaitkan dengan sebuah bangsa atau komunitas, maka ia adalah “karakter yang membedakannya dengan bangsa atau komunitas lain, yang sekaligus mengungkapkan kepribadian peradabannya.”[7] Dan sebuah identitas selalu mengumpulkan 3 hal:
 (1) Keyakinan ideologis,
 (2) bahasa untuk mengungkapkannya, dan
 (3) warisan budaya dan peradaban untuk jangka waktu yang panjang.[8]
 Dari ketiga unsur ini, keyakinan ideologis-lah unsur terpenting sebuah identitas. Dalam berbagai konflik antar manusia, ketika unsur-unsur identitas yang  lain mulai memudar, maka biasanya unsur ideologis-lah yang kemudian menjadi “pelindung” akhir sebuah identitas
Gerakan-gerakan perlawanan Palestina adalah sekumpulan teroris, sementara “sang penjajah” tidak lebih dari orang-orang yang melakukan pembelaan diri. Gerakan-gerakan perlawanan Afghanistan terhadap invasi Amerika adalah teroris. Namun ketika gerakan yang sama melakukan perlawanan terhadap invasi Uni Soviet, ia menjadi gerakan yang legal bahkan mendapatkan dukungan kuat. Ini semua tidak lain menunjukkan adanya tolok ukur yang kacau di pihak Amerika.
Fakta lain yang harus diangkat adalah bahwa kegelisahan akan pola globalisasi ala Amerika ini tidak hanya milik umat Islam. Friedman misalnya menyatakan: “Kita sedang berada di hadapan berbagai perang politis dan peradaban yang ganas dan keji. Amerika Serikat adalah sebuah kekuatan yang gila, dan kita adalah kekuatan revolusioner yang berbahaya. Sebenarnya mereka-lah yang takut kepada kita.”[9] Pada tahun 2003, dari hasil sebuah jajak pendapat di Eropa disimpulkan bahwa Amerika kemudian Israel adalah ancaman terbesar terhadap perdamaian dunia.[10]

Jalan Untuk Menghadapi Dampak Negatif Globalisasi terhadap identitas muslim.

 

Globalisasi sesungguhnya adalah fenomena yang mau tidak mau pasti terjadi. Ia merupakan konsekwensi dan kemestian logis dari kemajuan teknologi hubungan dan interaksi manusia yang tak kenal lelah untuk terus mencipta hal baru. Maka kemustahilan membunuh globalisasi sama saja dengan kemustahilan mematikan hasrat kreatifitas manusia. Berikut ini beberapa saran teoritis yang mungkin dapat menjadi jalan panjang untuk menghadapi berbagai dampak negatif globalisasi tersebut:

Pertama, melakukan upaya-upaya penguatan identitas muslim dengan unsurnya yang paling kuat: kembali kepada Islam. Segala upaya-upaya yang dapat melahirkan kebanggaan pada Islam seharusnya ditempuh. Sebab krisis identitas paling menemukan jalannya jika sejati identitas itu sendiri tidak mendapatkan tempat di hati di kalangan muslim sendiri.
Kedua, menampilkan sisi-sisi keindahan, keuniversalan, keadilan, dan peradaban Islam yang luhur bagi umat Islam sendiri, sebelum kemudian menyodorkannya kepada umat di luar Islam. Kesilauan pada identitas orang lain dan keraguan pada identitas sendiri selalu bermula dari ketidaktahuan atau ketidaksadaran akan keunggulan diri sendiri. serta menegakkan keadilan dan kebenaran.[11]
Ketiga, memberikan jaminan kemerdekaan dan kebebasan pemikiran di tengah kaum muslimin. Sebab kemerdekaan dan kebebasan berpikir adalah upaya terpenting untuk membagi dan menumbuhkembangkan potensi dan kreatifitas individu muslim, yang pada akhirnya menjadi faktor mendasar bagi berkembangnya sumbangsih kaum muslimin untuk peradaban dunia.
Keempat, harus ada upaya untuk memahami lebih jauh tentang globalisasi pemikiran. Upaya ini lebih ditujukan untuk mengetahui lebih jauh titik kekuatan dan kelemahan, sisi positif dan negatifnya melalui pandangan Islam yang terbuka.
Kelima, menciptakan komitmen dengan media-media massa dan informasi untuk ikut serta memperkuat identitas keislaman umat. Tidak ada yang meragukan bahwa pergeseran identitas banyak dipengaruhi oleh siaran televisi, radio, media massa, dan –yang mengalami ledakan dahsyat dalam dasawarsa belakangan ini- internet.

Simpulan

Pada akhirnya, Islam dan umat Islam sesungguhnya dapat memanfaatkan globalisasi sebagai jalan efektif untuk memperteguh identitasnya. Bahkan sudah seharusnya demikian. Artinya pemanfaatan globalisasi dalam rangka meneguhkan –bahkan menyebarkan- identitas Islam dan umat Islam sesungguhnya telah sampai pada taraf kewajiban. Apalagi salah satu doktrin penting yang sering digaungkan oleh umat Islam sendiri adalah bahwa Islam adalah agama ‘alami.[12]
Pemanfaatan globalisasi tentu saja didasarkan pada pandangan objektif bahwa fenomena ini tidak sepenuhnya mengandung nilai-nilai negatif. Fenomena ini sebenarnya menyimpan sebuah kekuatan yang sangat dahsyat, yang dampak-dampaknya sepenuhnya bergantung pada “siapa dan bagaimana” ia dimanfaatkan. Senjata paling mematikan yang dimiliki oleh globalisasi adalah media informasi dan sarana telekomunikasi dengan segala variannya yang berkembang setiap hari. Dan seperti yang telah disinggung sebelumnya, hari ini kita menantikan kolaborasi cantik antara ulama, pemikir, ilmuwan ahli, budayawan, dan pelaku-pelaku globalisasi muslim untuk meracik secara tepat, untuk kemudian menyajikan jawaban positif Islam atas globalisasi.

DAFTAR PUSTAKA

1.      ‘Ammar Thalibi. Al-‘Aulamah wa Atsaruha ‘ala al-Sulukiyyat wa al-Akhlaq. Majalah al-Ra’id. Edisi 236 Rabi al-Awwal 1423/mei 2002. Al-Dar al-Islamiyyah li al-I’lam. Jerman.
2.      Anwar ‘Isyqi. Al-Syayathin Takhtabi’ fi al-Tafashil ((Silsilah Kitab al-Ma’rifah 7-Nahnu wa al-‘Aulamah Man Yurabbi al-Akhar). Cetakan pertama. 1420 H.
3.      Bachtiar Effendi. Islam dan Nasionalisme Tidak Mesti Bertentanga. Wawancara dengan situs Islamlib.com tanggal 29-08-2005. http://islamlib.com/idindex.php?page=article&mode=print&id+870.
4.      Hamid Fahmi Zarkasyi. Merespon Globalisasi dengan Plurasime Agama. http://www.insistnet.com/index2.php?option_content&task=view&id=25.
5.      Khalid ibn ‘Abdillah al-Qasim. Al-‘Aulamah wa Atsaruha ‘ala al-Hawiyyah. http://www.islamtoday.net/print.cfm?artid=7335.
6.      Mahmud Samir al-Munir. Al-‘Aulamah wa ‘Alam Bila Hawiyyah. Dar al-Kalimah. Mesir. Cetakan pertama. 1422.
7.      Muhammad bin Isa al-Tamimi. Al-‘Aulamah wa Qadhiyah al-Hawiyah al-Tsaqafiyah. Cetakan pertama. 1422.
8.      Muhammad Quthub. Al-Muslimun wa al-‘Aulamah. Dar al-Syuruq. Kairo. Cetakan pertama. 1421 H.
9.      Sa’ad al-Bazi’i. al-Mutsaqqafun wa al-‘Aulamah wa al-Dharurah wa al-Dharar (Silsilah Kitab al-Ma’rifah 7-Nahnu wa al-‘Aulamah Man Yurabbi al-Akhar). Cetakan pertama. 1420 H.
10.  Samuel Huntington. Shadam al-Hadharat (Clash Civilication). Penerjemah ke dalam bahasa Arab: Thla’at al-Syayib. Cetakan kedua. 1999.
11.  Shabri Abdullah. Al-‘Arab wa Muwajahah al-‘Aulamah (Silsilah kitab al-Ma’rifah 7-Nahnu wa al-‘Aulamah Man Yurabbi al-‘Akhar). Cetakan pertama. 1420 H.
12.  Yusuf al-Qaradhawi. Al-Muslimun wa al-‘Aulamah. Dar al-Tauzi’ wa al-Nasyr. Kairo. t.t.
13.  Shabri Abdullah. Al-‘Arab wa Muwajahah al-‘Aulamah (Silsilah kitab al-Ma’rifah 7-Nahnu wa al-‘Aulamah Man Yurabbi al-‘Akhar). Cetakan pertama. 1420 H.


Catatan kaki
 

[1] Sa’ad al-Bazi’i, al-Mutsaqqafun wa al-‘Aulamah wa al-Dharurah wa al-Dharar, Silsilah Kitab al-Ma’rifah (7) Nahnu wa al-‘Aulamah Man Yurabbi al-Akhar, 1420 H, h. 73.
[2] Bandingkan dengan Khalid ibn ‘Abdillah al-Qasim, al-‘Aulamah wa Atsaruha ‘ala al-Hawiyyah, h.1.
[3] Sebagaimana dinukil dari Hamid Fahmy Zarkasyi, Merespon Globalisasi dengan Pluralisme Agama, http://www.insistnet.com/index2.php?option_content&task=view&id=25, h. 1.
[4] Sebagaimana dalam DR. Muhammad al-Tamimi, al-‘Aulamah wa Qadhiyah al-Hawiyah al-Tsaqafiyah, 1422 H, h. 29.
[5] Sebagaimana dalam Hamid Fahmi Zarkasyi, Merespon Globalisasi dengan Pluralisme Agama, h. 1.
[6] Sebagaimana dalam DR. Khalid ibn ‘Abdillah al-Qasim, al-‘Aulamah wa Atsaruha ‘ala al-‘Aulamah, h. 2.

[7] Sebagaimana dalam DR. Khalid ibn ‘Abdillah al-Qasim, al-‘Aulamah wa Atsaruha ‘ala al-Hawiyyah, h. 3.
[8] Mahmud Samir al-Munir, al-‘Aulamah wa ‘Alam Bila Hawiyyah, h. 146.
[9] Sebagaimana dinukil oleh al-‘Aulamah wa Atsaruha ‘ala Iqtishad al-Duwal, h. 28, dari surat kabar al-Syarq al-Ausath tanggal 2-3-1997.
[10] Lih. DR. Khalid ibn ‘Abdillah al-Qasimy, al-‘Aulamah wa Atsaruha ‘ala al-Hawiyah, h. 6
[11] Muhammad Quthb, al-Muslimun wa al-‘Aulamah, Kairo: Dar al-Syuruq, cetakan pertama 1421 H, h.49.
[12] Bandingkan dengan Islam dan Nasionalisme Tidak Mesti Bertentangan, wawancara situs Islamlib.com dengan DR. Bachtiar Effendi pada tanggal 29-08-2005, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&mode=print&id+870

Tidak ada komentar:

Posting Komentar