Sabtu, 30 Januari 2010

Delapan Faktor Gagalnya Perkawinan

TIDAK peduli seberapa besar rasa cinta suatu pasangan suami istri, perkawinan yang dijalani bisa saja terpuruk ke dalam jurang kegagalan karena beberapa alasan seperti usia, hubungan sebelumnya, pengaruh orang tua, atau kebiasaan buruk seperti merokok. Itulah hasil penelitian berjudul What's Love Got to Do With It? seperti dilaporkan Australian Associates Press.

Sebuah tim yang dipimpin Rebecca Kippen dan Bruce Chapman dari The Australian National University dan Peng Yu dari Department of Families, Housing, Community Services and Indigenous Affairs di Australia, meneliti sebanyak 2.500 pasangan menikah dan hidup bersama sejak 2001 hingga 2007, dan berhasil mengidentifikasi faktor apa saja yang berpotensi menghancurkan perkawinan:

1. Ketika usia suami sembilan tahun lebih tua (atau lebih) dibandingkan usia istri, potensi cerai menjadi dua kali lebih besar dibandingkan pasangan yang usianya tidak terpaut jauh.

2. Lelaki yang menikah sebelum usia 25 tahun berpotensi cerai dua kali lebih besar dibandingkan lelaki yang menikah di usia lebih tua.

3. Sebanyak 20% pasangan yang memiliki anak sebelum menikah--baik dari hubungan yang sekarang atau hubungan sebelumnya--mengalami perceraian atau berpisah. Sebaliknya, hanya 9% pasangan yang memiliki anak setelah pernikahan yang kemudian bercerai atau berpisah. Jumlah anak yang dimiliki tidak berpengaruh terhadap tingkat perceraian.

4. Perkawinan lebih mungkin hancur apabila pihak perempuan lebih menginginkan memiliki keturunan dibandingkan pasangannya.

5. Sebanyak 16% pasangan yang memiliki orang tua bercerai mengalami masalah perkawinan yang sama. Sementara itu, hanya 10% pasangan yang orang tuanya tidak mengalami perceraian justru bercerai.

6. Ketika pernikahan itu merupakan pengalaman kedua atau ketiga kalinya bagi salah satu pihak, pasangan tersebut memiliki risiko perceraian sebesar 90% dibandingkan pasangan yang keduanya baru sekali itu menikah.

7. Sebanyak 16% pasangan yang mengidentifikasikan dirinya miskin atau sang suami tidak memiliki pekerjaan, berakhir dengan perceraian atau berpisah. Sedangkan hanya 9% pasangan yang memiliki kondisi finansial baik bercerai. Status pekerjaan istri tidak berpengaruh terhadap stabilitas perkawinan.

8. Jika salah satu pihak merokok, sementara pihak yang lain tidak merokok, perkawinan tersebut lebih berisiko menemui kegagalan dibandingkan perkawinan di mana kedua orangnya tidak merokok atau sama-sama merokok. (OL-08)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar