Senin, 25 Januari 2010

Dialog dengan Tuhan

Di zaman ini, mungkinkah kita masih bisa berkomunikasi dengan Tuhan?
Bukankah Nabi terakhir telah lama wafat, dan kitab suci terakhir telah
diturunkan lima belas abad yang lampau serta Tuhan telah menyatakan
sempurnanya agama kita. Masihkah terjadi dialog antara hamba dengan Tuhan?

Neale Donald Walsch percaya akan hal itu. Walsch mengaku masih bisa
berdialog dengan Tuhan. Ia kemudian menuliskan hasil dialog dengan Tuhan
itu dalam bukunya "Conversations with God: an uncommon dialogue", sebuah
buku yang telah berulang kali dicetak ulang.

"Aku tidak berkomunikasi semata dengan kata. Bentuk komunikasi yang Kupilih
lebih melalui "perasaan" (feeling). Perasaan adalah bahasa jiwa. Jika kamu
ingin tahu apa yang benar tentang sesuatu, lihatlah bagaimana perasaanmu
terhadap sesuatu itu.

Aku juga berkomunikasi lewat "pikiran" (thought). Pikiran dan perasaan
tidaklah sama, meskipun keduanya dapat berlangsung pada saat yang sama.
Dalam komunikasi lewat pikiran, Aku menggunakan media imajinasi dan
gambaran. Karenanya, pikiran lebih efektif daripada menggunakan "kata"
sebagai alat komunikasi.

Sebagai tambahan, Aku juga menggunakan kendaraan "pengalaman" sebagai media
komunikasi. Dan akhirnya, ketika perasaan, pikiran dan pengalaman semuanya
gagal, Aku menggunakan "kata-kata". Kata-kata adalah media komunikasi yang
paling tidak efektif. Kata-kata lebih sering dikelirutafsirkan dan
disalahpahami. Dan mengapa itu terjadi? Karena demikianlah kata-kata itu.
Mereka hanya simbol dan tanda. Kata-kata bukanlah kebenaran; juga bukan
sesuatu yang hakiki." (Walsch:1997, h. 3-4)

Inilah "jawaban" Tuhan, ketika Walsch bertanya tentang cara Tuhan
berkomunikasi dengan kita. Anda boleh tak setuju dengan pengakuan Walsch.
Tak ada larangan kalau anda bersedia menggelari dia dengan "pendusta".

Tapi, buat saya, yang menarik adalah kutipan di atas. Bahkan seorang
non-Muslim seperti Walsch pun percaya bahwa Tuhan masih berkomunikasi
dengan kita. Sayang, terkadang kita lupa akan hal ini, bahwa Tuhan masih
berkomunikasi dengan hamba-Nya.

Ketika Walsch --atau "Tuhan"-- menyebutkan perasaan, pikiran, pengalaman
dan kata-kata sebagai bentuk komunikasi dari Tuhan, saya teringat, Syaikh
Terbesar, Ibn Arabi yang mengatakan bahwa alam semesta merupakan bentuk
tajalli dari Allah. Karena itu kemana saja kita arahkan pandangan mata
kita, sebenarnya kita menangkap "tanda" Tuhan di sana.

Sayang, kita suka enggan berkomunikasi dengan Tuhan. Shalat pun menjadi
berat. Beban kerja yang menumpuk menjadi alasan. Saat kita menzalimi
saudara kita, kita sering lupa bahwa saudara kita masih bisa berkomunikasi
dengan Tuhan dan mengadukan kelakuan kita. Ketika duka datang menerpa kita,
kita lebih percaya untuk berkomunikasi dengan "orang pintar" dibanding kita
adukan derita kita langsung kepada Tuhan. Alih-alih melihat "tanda" dari
Tuhan, hambatan ekonomis malah menjadi pembenar ketika kita menerima uang
yang bukan hak kita.

Anda boleh tak setuju bahwa buku Walsch merupakan hasil komunikasinya
dengan Tuhan. Anda boleh tak setuju ketika Ibn Arabi mengaku "didiktekan"
Malaikat ketika menulis Futuhat al-Makkiyah, namun tak ada salahnya saya
mengutip lagi isi buku Walsch, ketika "Tuhan" berkata:

"Aku bicara kepada setiap orang. Pada setiap waktu. Masalahnya bukan kepada
siapa Aku bicara, tetapi siapa yang mau mendengarkan?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar