Minggu, 14 Februari 2010

USHUL FIQIH


خلاصة الأصول
Pengantar Ilmu Usul Fqih
(Edisi Terjemahan Bagian 1)
Abdulloh bin Shalih Al Fauzan
Pengajar di Universitas Imam Muhammad bin Sa’ud Al Islamiyah
*****************************************************
MUQODDIMAH
MENERANGKAN DEFINISI
DAN PERINSIP DASAR USHUL FIQIH
Definisi Usul Fiqih :
Ushul Fiqih memiliki dua pengertian :
Pertama : Ditinjau dari masing-masing katanya :
Al-Ushul jamak dari ashlun, ia secara bahasa : Segala sesuatu yang adanya sesuatu itu bersandar kepadanya.
Dan secara istilah digunakan pada beberapa penggunaan, diantaranya dalil, inilah yang dimaksudkan disini. Maka ushul fiqih itu adalah : dalil-dalilnya.
Fiqih secara bahasa : Al-fahmu
Secara istilah : Mengetahui hukum-hukum syar’i amaliyah dengan dalil-dalilnya yang terperinci
Pengertian yang kedua : Ditinjau dari suatu ilmu yang tersendiri, maka  ia memiliki pengertian : Dalil-dalil fiqih yang ijmaliyah/gelobal, dan tata cara mengambil faidah dari dalil-dalil tersebut dan tentang keadaan al-mustafidz.
Hasilnya : Kemampuan untuk mengambil kesimpulan hukum as-syar’iyyah diatas pijakan/asas-asas yang selamat. (Dan) mengetahui bahwa asy’syari’ah itu sesuai bagi seluruh waktu dan tempat. Hal demikian karena kemampuannya untuk ‘menelurkan’ hukum-hukum tatkala didapatkannya kejadian-kejadian yang berlalu sepanjang masa.
Kaitannya dengan ilmu yang lainnya : Kedudukannya dari ilmu-ilmu yang lainnya; Ia merupakan bagian dari ilmu-ilmu syar’iyah. Ilmu ini bagi ilmu fiqih seperti ‘ulumul hadits (mutholah al-hadits) bagi hadits dan seprti ushul an-nahwi bagi nahwu.
Keutamannya : Seluruh dalil yang telah otentik tentang anjuran untuk komitmen di dalam agama Alloh Ta’ala, maka terhenti atas ushulul fiqh. Telah tetap baginya keutamaan yang dimiliki oleh ilmu fiqih, karena ia merupakan sarana yang menghantarkan padanya.
Pencetusnya : Imam Syafi’I -rihimahulloh-, demikian itu dengan menulis kitab (Ar-Risalah), ia merupakan kitab yang membahas ushul.
Sandarannya : Maksudnya adalah sumber-sumbernya yang dibangun diatasnya kaidah-kaidah-nya :
1. Penelitian terhadap nas-nas dari Al-Kitab dan As-Sunnah
2. Atsar yang diriwayatkan dari sahabat dan tabi’in
3. Bahasa Arab
4. Kesepakatan as-Salaf as-Shalih
5. ijtihad ahli ilmu dan istimbath mereka sesuai dengan batasan-batasan syari’at.
Hukumnya : Fardu kifayah, kecuali bagi orang-orang yang hendak berijtihad maka baginya fardu ‘ain.
Masalah-masalahnya : Ia adalah meliputi pembahasan yang dengannya seorang mujtahid bisa mengambil faidah dan kesimpulan hukum-hukum syar’iyah.
Kemuliannya : Ia adalah ilmu yang mulia dikarenakan kemuliaan pembahasannya, ia adalah suatu ilmu yang dengannya diketahui tentang hukum-hukum Alloh Ta’ala yang  mewariskan keberhasilan dan kebahagian di dua negeri.
Bab Pertama : Tentang Adillah al-Ahkam Asyar’iyah
Al-adillah jamak dari dalil, ia secara bahasa : Sesuatu yang menunjukkan pada yang dicari.
Secara istilah : Sesuatu yang diambil faidah darinya hukum-hukum syar’i yang ‘ilmiyah, dengan cara koth’i atau-pun dzon.
Al-Adillah : Ia adalah Al-Kitab, as-Sunnah, Ijma’, dan qiyas. Ini merupakan dalil-dalil yang disepakati kebanyakan (jumhur) muslimin. Adapun al-Istihab, madzhab sahabat, syari’at orang-orang sebelum kita, masholih mursalah, ‘urf (kebiasaan), syadu adzari’ah maka merupakan suatu yang diperselisihkan; ia menurut orang yang menyatakannya merupakan dalil-dalil atas hukum Alloh Ta’ala.
Al-adillah seluruhnya kembali kepada kitab Alloh, ia merupakan asal. As-sunnah yang mengkhabarkan tentang hukum Alloh, yang menerangkan Al-Qur’an. Adapun ijma’ dan qias keduanya bersandar kepada al-Kitab dan as-Sunnah. Seluruh dalil tidaklah dilirik andaikan tidak bersandar kepada al-Kitab dan as-Sunnh.
1. Al-Kitab
Ia merupakan perkataan Alloh Ta’ala yang diturunkan atas Rosul-Nya Muhammad sholallohu ‘alaihi wasallam , yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-nas.
Diantara Kekhususannya :
  1. Ia merupakan perkataan Alloh Ta’ala; Lafadz dan maknanya, seluruhnya.
  2. Ia diturunkan dengan lisan arob yang jelas.
  3. Membacanya merupakan ibadah, di dalam sholat dan pada seliannya.
  4. Ia dituliskan di dalam mushaf-mushaf.
  5. Ia di hafal di dalam dada-dada (manusia).
  6. Ia dijaga dari perubahan, penggantian, penambahan dan dari pengurangan.
Ia merupakan qot’iyu at-tsubut , karena ia dinukil dengan mutawatir. Adapun al-qiro’ah (bacaan) yang tidak mutawatir maka tidak dinamakan qur’an. Adapun penunjukannya atas hukum-hukum maka kadang-kadang qoth’i dan kadang pula dzoniyah; dan begitulah kebanyakannya.
Sungguh, Al-Qur’an ini telah mengandung segala sesuatu yang dibutuhkan oleh seluruh manusia. Ia terdiri dari tiga macam (kandungan) :
  1. Hukum-hukum i’tiqodiyah
  2. Hukum-hukum akhlaqiyah shulukiyah.
  3. Hukum-hukum amaliyah, ia berkaitan dengan perbuatan al-mukalafin. Hukum-hukum ‘amaliyah ini ada dua :
  • Ibadah
  • Mu’amalah, dan penamaannya dengan hal tersebut hanyalah penamaan istilah belaka.
2. As-Sunnah
Ia adalah perkataan nabi sholaoohu ‘alaihi wassallam, perbuatan dan persetujuannya.
Adapun perkataannya sholallohu ‘alaihi wassallam; Jika perkataan yang shorih maka ia marfu’ secara hakikat atau di dalamnya terdapat makna al-qaul, seperti qoul (perkataan) sahabat : “Rosululloh sholallohu ‘alaihi wassallam telah memerintahkan demikian atau perkataan : Beliau melarang dari demikian.
Ia merupakan hujjah yang memutuskan (tidak ada celah untuk menolaknya) bagi orang yang telah mendengarnya. Jika sunnah tersebut dikutifl kepada yang lain maka menurut pendapat jumhur bisa mutawatir atau ahad.
Mutawatir secara bahasa adalah yang saling susul menyusul; Adapun secara istilah adalah : Hadits yang dinukil oleh jama’ah yang banyak, yang secara kebiasaan mustahil terjadinya pemufakatan untuk dusta, dan mereka menyandarkannya pada sesuatu yang dapat diindra.
Hadits mutawatir ini memberikan faidah ilmu, ia merupakan suatu ketetapan yang pasti bila (telah) sahih penisbatannya kepada orang yang telah dikutif tentangnya. Dan juga memberikan faidah beramal dengan sesuatu yang telah ditunjukannya dengan cara membenarkannya jika hadits tersebut merupakan khobar\berita dan dengan mempraktekannya jika hadits tersebut merupakan tuntutan (atas suatu perbuatan –pen).
Ahad secara bahasa : Jamak dari (Ahad) yang bermakna wahid (satu\tunggal).
Adapun secara istilah adalah : Selain hadits mutawatir.
Hadits-hadits ahad merupakan hujjah secara mutlak, baik di dalam masalah aqidah ataupun masalah ahkam. Karena hadits ahad itu berfaidah memberikan dzon yang rojih (kuat) bila telah sahih penisbatannya kepada Rosululloh saw . Jika telah terpenuhi didalam hadits tersebut syarat-syarat (hadits) sahih atau yang dibawah syarat hadits sahih tersebut, dialah hadits yang hasan. Dan kadang hadits ahad ini memberikan faidah ilmu yang pasti jika dengannya ada tanda-tanda atau umat telah menerimanya. Hal yang demikian secara khusus diketahui oleh ahli hadits dan selain mereka mengikuti mereka (ahli hadits).
Adapun perbuatan-perbuatan sholallohu ‘alaihi wassallam maka pada asalnya adalah mencontoh dengannya. Tidaklah boleh menghukumi suatu perbuatan bahwa ia merupalan khususiyah kecuali dengan dalil. Kemudian sesuatu yang telah dilakukannya sebagai bentuk ibadah maka yang benar hukumnya adalah istihbab. Suatu perbuatan yang merupakan penjelasan bagi yang mujmal maka ia merupakan pensyari’atan bagi umatnya; ada yang wajib dan ada pula yang mandzub/sunnah.
Dan suatu perbuatan yang dilakukan beliau sholallohu ‘alaihi wassallam, yang ia merupakan tuntutan adat\kebiasaan maka tidak ada hukum baginya di dalam dzat perbuatan tersebut; Dan bukan bagian dari tasyri’, kecuali jika baginya sifat yang dituntut.
Adapun suatu perbuatan yang tidak nampak sisi taqorubnya maka ada kemungkinan sebagai adat\kebiasaan atau sebagai ibadah. Paling rendah keadaannya adalah ibahah.
Kebalikan perbuatan-perbuatan adalah at-turuk (meninggalkan), ia ada tiga jenis:
  1. Meninggalkan perbuatan karena tidak adanya tuntutan untuk melakukan perbuatan tersebut, maka meninggalkannya tidak menjadi sunnah.
  2. Meninggalkan suatu perbuatan bersama adanya tuntutan untuk melakukan perbuatan tersebut, (tidak-lah dilakukan karena –pen) adanya sebab yang menghalanginya. Maka meninggalkan perbuatan tersebut tidaklah menjadi sunnah, kecuali jika telah hilang penghalangnya maka mengerjakan sesuatu yang beliau meninggalkannya itu disyari’atkan, tidak menyelisihi sunnahnya sholallohu ‘alaihi wa sallam.
  3. Meninggalkan suatu perbuatan bersama adanya tuntutan untuk melakukan perbuatan tersebut dan tidak ada yang menghalanginya, meninggalkannya merupakan sunnah.
Jenis sunnah ini merupakan ushul yang agung dan kaidah yang mulia, dengannya dijaga hukum-hukum syar’i, dan dengannya ditutup pintu ibtida’ di dalam agama.
Jika perkataan sholallohu ‘alaihi wa sallam bertentangan dengan perbuatannya : (Kemungkinan pertama –pen) perbuatan tersebut merupakan pengkhususan bagi perkataan, (kemungkinan kedua –pen) atau dibawa sebagai penjelasan tentang kebolehannya, (kemungkinan ketiga –pen) atau sebagai nasikh begi perkataannya, atau yang selainnya; Dari sesuatu yang akan sempurna pengetahuannya dengan meneliti ‘tempat-tempat’ pertentangannya, (dan) dengan melihat pada dalil-dalil dan qorinah-qorinah, (yang) diambil faidah darinya di dalam penentuan\pembatasan yang dimaksud.
Adapun tqrir sholallohu ‘alaihi wa sallam adalah tidak mengingari suatu perkataan atau perbuatan; Atau meridlhinya, atau bergembiranya dengannya atau menyatakan baik terhadapnya. Ia merupakan dalil atas bolehnya (seseuatu tersebut) sesuai dengan sisi\bentuk yang beliau telah mengikrarkannya. Disyaratkan dari hal itu, hendaknya beliau mengetahui terjadinya perbuatan atau perkataan tersebut, seperti terjadi di hadapannya atau terjadi tidak dihadapannya, kemudian sampai kepadanya atau yang seperti itu. Andaikan beliau tidak tahu maka ia pun hujjah, karena ikror Alloh atasnya.
Kedudukan as-Sunnah ada pada tingkatan kedua setelah al-Qur’an. Adapun di dalam ihtijaj/berdalil dan kewajiban itiba’/mengikuti maka keduanya sama. As-sunnah seperti al-Qur’an, kadang-kadang penunjukannya atas suatu hukum itu dengan qot’i atau dengan dzonni.
Hukum-hukum yang ditetapkan di dalam as-Sunnah ada tiga jenis:
  1. Hukum yang berkesesuaian dengan hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an; sebagai mu’akid ‘penguat’ baginya (al Qur’an).
  2. Hukum yang menjelaskan hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an; Bisa di dalam menjelaskan yang mujmal, atau mengkhususkan yang umum atau membatasi yang gelobal.
  3. Hukum yang permulaan, al-Qur’an mendiamkannya. Datanglah as-Sunnah dengan hukum tersebut.
3. Ijma
Ia adalah kesepakatan para ahli ijtihad setelah wafatnya sholallohu ‘alaihi wa sallam di suatu zaman dari zaman-zaman, atas suatu hukum syar’i.
Ia terbagi ditinjau dari dzatnya kepada : (1) qauliyun dan (2) sukutiyun. Al-qauliy : Setiap masing-masing mujtahid (ahli ijtihad) mengungkapkan pendapatnya di dalam suatu masalah. Ini jika memang didapatkan maka ia hujjah yang pasti tanpa perselisihan.
Adapun as-sukuti : Sebagian mujtahid mengungkapkan suatu pendapat, (dan) yang selainnya tetap (tidak ditemukan yang mengingkarinya –pen). Maka ia bukanlah hujjah menurut pendapat yang terpilih.
Ijma jika ditinjau dari kuat dan lemahnya terbagi pada : qot’iy; Ia adalah sesuatu yang diketahui terjadinya dari umat dengan dhorury. Maka ini hujjah yang pasti, tidak halal bagi seseorang untuk menyelisihinya.
Dzhony : Ia adalah sesuatu yang diketahui dengan penelitian dan penela’ahan, ia tidaklah mungkin kecuali di zaman para sahabat rodhiyallohu ‘anhum. Adapun setelah mereka maka suatu yang tidak mungkin secara umum, karena banyaknya perselisihan dan terpencar-pencarnya umat.
Ijma bukanlah dalil yang berdiri sendiri, tatkala tidak ditemukannya suatu masalah yang telah disepakati kecuali di dalam masalah tersebut ada dalil syar’i. Mengetahuinya –walaupun– sebagian mujtahid.
4. Qias
Ia adalah menyertakan cabang kepada asal (pokok), karena alasan yang menyatukan antara keduanya.
Ia merupakan cara ijtihad yang berdiri di atas nas-nas al-Kitab dan as-Sunnah. Tidaklah berpaling kepada qias (baca : tidaklah menggunakan kias) kecuali jika tidak didapatkan nas. Tidak ada nilai bagi qias yang ‘menghantam’ nas atau ijma’.
Tata cara qias : Hendaknya syari’ menyebutkan atas suatu hukum di dalam suatu masalah. Baginya sifat yang disebutkan secara tegas atau (sifat) yang disimpulkan, kemudian sifat tersebut didapatkan di dalam masalah yang lain yang syari’ tidak menyebutkan (hukumnya) atas dzat masalah tesebut, akan tetapi masalah tesebut sama dengan yang telah disebutkan atasnya, maka wajib menyertakan dengan maslah tersebut di dalam hukumnya; karena syari’ yang Maha Bijaksana tidaklah membedakan antara sesuatu yang sama di dalam sifat-sifatnya dan tidaklah mengumpulkan antara sesuatu yang berbeda (di dalam kesamaan hukumnya–pen).
Rukun-rukun qias ada empat :
  1. Ashlun : Dinamakan al-maqis ‘alaihi. Ia adalah sesuatu yang telah warid nas tentang hukumnya.
  2. Hukumul ashl. Ia adalah hukum syar’i yang tetap dengannya nas di dalam ashl. Dan dimaksudkan ta’diyahnya (peletakan hukum asal tersebut) kepada cabang.
  3. Al-Far’u. Dinamakan al-maqis, ia adalah maslah yang tidak warid nas tentang hukumnya.
  4. Al-’Illah. Ia adalah makna yang bersekutu antara ashl dan cabang, (yang) dibangun di atasnya hukum asyar’i. Ia merupakan rukun kias yang paling penting.
Syarat-syarat qias, hukum ashl memiliki dua syarat :
  1. Hendaknya hukum ashl tetap dengan nas atau ijma’.
  2. Hendaknya hukum ashl bisa ‘dicerna’ makna(nya); supaya bisa memalingkan hukum ashl kepada furu’\cabang.
Al-Faru’ memiliki dua syarat :
  1. Hendaknya ‘illah dipastikan keberadaannya seperti adanya pada ashl. Ini merupakan kias aula dan al-musawah. Atau ‘illah tersebut besar prasangka tentang adanya.
  2. Hendaknya hukum al-faru’ tidak ditetapkan dengan ketetapan yang menyelisihi hukum ashl.
‘Illah memiliki empat syarat :
  1. Hendaknya ‘illah tersebut merupakan sifat yang jelas lagi mundhobith.
  2. Hendaknya ‘illah tersebut merupakan sifat yang sesuai untuk diterapkan hukum kepadanya, diketahui dari kaidah-kaidah syar’i. Jika ‘illah tersebut thordiyan tidak ada kesesuaian di dalamnya maka tidak sahih ta’lil dengannya.
  3. Hendaknya ‘illah tersebut merupakan sifat yang muta’addy , jika ‘illah tersebut terbatas pada hukum asal maka terlarang mengkiaskan dengannya; karena tidak ada ta’diyah kepada furu’.
  4. Hendaknya ‘illah tersebut ditetapkan dengan cara dari beberapa cara penetapan berikut :
  • An-naql; Nas dan Ijma.
  • Ijma’
  • Istinbath dengan cara sabr dan taqsim.



Adapun dalil-dalil yang diperselisihkan sebagai berikut :
1. Madzhab Sahabat
Sahabat adalah orang-orang yang berkumpul dengan Rosululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan mu’min dan meninggal dalam keadaan demikian.
Yang dimaksud dengan madzhabnya adalah : Perkataan dan pendapatnya, di dalam masalah-masalah yang tidak ada nas dari al-Kitab atau as-Sunnah. Perbuatan dan persetujuan (mereka) termasuk pada madzhab sahabat, baginya tiga bentuk :
  1. Bentuk pertama : Jika masalah tersebut terkenal dan tidak ada yang mengingkari. Maka ia merupakan hujjah menurut pendapat kebanyakan para ulama. Sebagian mereka menganggapnya sebagai ijma’ sukuti. Telah terdahulu bahwa (anggapan seperti ini) lemah.
  2. Bentuk kedua : Jika masalah tersebut tidak terkenal dan tidak ada seorang pun yang menyelisihinya. Keadaan ini diperdebatkan (para ulama), yang nampak – Allohu ‘Alam – ia diambil tatkala tidak ada dalil dari al-Kitab, as-Sunnah, ijma atau yang lainnya dari sesuatu yang mu’tabar. Mengambil pendapat yang merupakan hasil ijtihad sahabat adalah lebih utama daripada mengambil pendapat\ijtihad orang yang datang setelah mereka. Akan tetapi bukan hujjah yang lazim seperti nas al-Kitab dan as-Sunnah. Madzhab sahabat rodiyallohu ‘anhum yang paling kuat adalah pendapat khulafa ar-rosidin yang empat, kemudian orang-orang yang terkenal sebagai ahli fiqih dan fatwa dari sahabat.
  3. Bentuk ketiga : Jika pendapat tersebut diselisihi oleh sahabat yang lainnya, maka ini bukanlah hujjah menurut seluruh fuqoha. Jika didapatkan sandaran pendapatnya atau pendapat yang lainnya maka amal dengan dalil tidak dengan perndapat\perkataan sahabat.
Dikecualikan dari itu penafsiran mereka terhadap nas-nas dari al-Kitab dan as-Sunnah, ia merupakan hujjah dan didahulukan dari penafsiran orang-orang yang sesudah mereka; karena mereka ahli lisan dan telah menyaksikan turunnya wahyu, maka pemahaman mereka lebih sempurna, dan lebih mengetahui yang diinginkan oleh pembuat syari’at, yang tidak dimiliki oleh selain mereka.
2. Al-Istishab
Secara bahasa\etimologi : Meminta teman dan kelangsungannya.
Secara istilah\terminologi : Membiarkan suatu penetapan selama hal tersebut tetap atau membiarkan penafian sesuatu selama hal tersebut dinafikan.
Ia memiliki tiga bentuk, seluruhnya hujjah :
  1. Istishab baroatul ashliyah (tetapnya hukum asal) sehingga ada sesuatu yang memindahkan dari hukum asalnya. Inilah yang dimaksud dengan isthishab tatkala dimutlakan.
  2. Istishab dalil syar’i sehingga datang yang memalingkannya.
  3. Istishab sifat yang menetapkan hukum syar’i sehingga adanya yang menyelisihinya.
Isthishab dengan ketiga macamnya tidaklah menetapkan suatu hukum yang baru. Ia hanya menunjukkan keberlangsungan hukum terdahulu, yang  tetap dengan dalil yang dianggap.
Oleh karenanya, ia bukanlah dalil yang berdiri sendiri yang diambil faidah hukum. Tapi ia merupakan salah satu cara melaksanakan\menjalankan dalil. Tidaklah berpaling padanya kecuali tatkala tidak adanya dalil khusus di dalam masalah tersebut.
Ia merupakan langkah terakhir dalam sandaran fatwa, jika seorang mujtahid telah mencurahkan kemampuan di dalam pembahasannya pada dalil-dalil namun tidak mendapatkannya; maka dia kembali pada isthishab. Adapun isthishab dijadikan sebagi suatu hukum ijma di dalam menyelesaikan masalah maka bukanlah hujjah menurut pendapat yang terpilih.
Di dalam isthishab ini terdapat beberapa kaidah fiqhiyah : diantaranya :
  1. Keyakinan tidaklah hilang dengan keragu-raguan.
  2. Asal segala sesuatu adalah boleh kecuali jika ada dalil yang menunjukkan keharamannya.
  3. Asal segala sesutau suci kecuali jika ada dalil yang menunjukkan tentang najisnya.
  4. Asal di dalam ‘adah (kebiasaan) adalah boleh kecuali jika ada larangannya dari syar’i.
  5. Asalnya lepas tanggung jawab sehingga adanya dalil yang menyelisihinya.
  6. Asal dari sesuatu yang menjadi tanggung jawab\kewajibannya adalah tetap adanya kewajiban tersebut sampai adanya keyakinan bahwa ia telah terlaksana.
3. Syari’at sebelum kita :
Yang dimaksud dengannya adalah : Hukum-hukum yang Alloh Ta’ala telah mensyari’atkannya kepada umat yang terdahulu, melalui lisan para rosul-Nya kepada mereka. Sesuatu yang termaktub di dalam taurot, injil dan selain keduanya. Ia ada empat macam :
Pertama : Hukum-hukum yang telah disyari’atkan kepada umat-umat sebelum kita, kemudian al-Kitab dan as-Sunnah menjadikannya syari’at bagi umat ini. Maka ia hujjah tanpa keraguan.
Kedua : Hukum-hukum yang disyari’atkan bagi umat-umat sebelum kita, kemudian al-kitab dan as-Sunnah datang menghapuskannya, ia bukanlah syari’at bagi umat ini. Maka ia bukanlah syari’at bagi kita tanpa perbedaan.
Ketiga : Hukum-hukum yang tidak ada penyebutannya di dalam al-Kitab dan as-Sunnah, seperti yang diambil dari isroiliyat, maka ia bukanlah syariat bagi kita secara ijma’.
Keempat : Hukum-hukum yang datang penyebutannya di dalam al-Kitab atau as-Sunnah, akan tetapi tidak ada yang menunjukkan pensyariatannya atau yang menyatakan bahwa ia bukanlah syari’at kita. Ini merupakan masalah yang terjadi perselisihan antara ahli ilmu. Apakah ia dihitung sebagai dalil tasyri’ ataukah tidak ?. Yang kuat adalah syari’at bagi kita, ini merupakan pendapat kebanyakan para ulama.
Pada bagian keempat masih membahas dalil-dalil yang diperselisihkan, kita kutifkan dua pembahasan;  Al Masholih Al Mursalah dan Al ‘Urf , semata menyimak.
Syaikh Abdulloh hafifzohulloh berkata :
4. Al Masholih Al Mursalah
Ia jamak dari maslahat : Yaitu : Mendatangkan manfa’at atau menolak bahaya.
Al-Mursalah : Suatu kemutlakan yang syari’at tidak membatasinya, dengan anggapan terjadi\sah atau pun dengan batal.
Al-masholih ada tiga macam :
  1. Sesuatu maslahat yang syara mempersaksikan dengan terjadi\terlaksananya, dengan dalil tertentu dari nas, ijma’ atau pun qias. Maka ini dianggap dengan kesepakatan.
  2. Sesuatu maslahat yang syara’ mempersaksiakan dengan batalnya\tidak terlaksana, maka ia batal dengan kesepakatan
  3. Sesuatu maslahat yang syara’ tidak menetapkannya dengan terjadi atau pun batal dengan dalil tertentu, akan tetapi di dalamnya ada sifat yang berkesesuaian dengan pensyari’atan hukum tertentu, yakni dari keadaan sisi terealisasinya manfa’at atau tertolaknya bahaya.
Poin ketiga inilah yang dimaksudkan dengan maslahah mursalah. Pendapat yang menyatakan : Bahwa maslahah mursalah merupakan hujjah dan sebagai sumber dari sumber-sumber tasri’ di dalam mu’amalah dan politik pengaturan manusia merupakan pendapat yang cemerlang. Telah menjadi kesepakatan para ahli fiqih untuk mengambil al-maslahah al-mursalah, karena mereka sepakat : tercapainya maslahat dan menyempurnakannya, serta tertolaknya kerusakan dan meminimalkannya merupakan pondasi syari’at. Akan tetapi dengan tiga syarat :
  1. Bersesuaian dengan tujuan syari’at. Maslahat tersebut harus merupakan bagian dari jenis al-masholih yang pembuat syari’at memaksudkan untuk mencapainya; tidak bertentangan dengan pokok  dan tidak menafikan dalil yang ditetapkan pembuat syari’at.
  2. Manfa’at tersebut dimengerti oleh akal di dalam dzatnya. Akal yang selamat bisa menerimanya, karena ia sesuai dengan sifat-sifat yang sesuai lagi dapat dicerna akal. Oleh karenanya ia tidak diberlakukan dalam ibadah, karena ibadah dibangun pada landasan tauqifi.
  3. Tujuan diambilnya maslahat tersebut merupakan bentuk penjagaan pada doruriyat, seperti menjaga agama, jiwa dan harta. Atau untuk menolak keberatan yang lazim di dalam agama; bisa memperingan atau mempermudah.
Seluruh ketetapan syari’at agama ditujukan untuk tiga masholih :
  1. Menolak kerusakan. Untuk mewujudkannya maka disyari’atkan penjagaan ‘adoruriyat’ (primer) yang lima : (1) Agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) harta dan (5) kehormatan.
  2. Mendatangkan maslahat. Untuk mewujudkannya disyari’atkan segala sesuatu yang bisa menghilangkan keberatan dari umat, baik di dalam ibadah dan yang lainnya. Ia diungkapkan dengan istilah ‘al-hajiyat’.
  3. Untuk tercapainya makarimul akhlaq dan kebiasaan yang baik. Maka disyariatkan hukum-hukum tahsiniyat.
5. Al-’Urf
Ia adalah sesuatu yang digarisakan manusia dan mereka menjadikannya sutau kebiasaan, berupa perkataan dan perbuatan.
Al-’urf semakna dengan adat (kebiasaan), kecuali secara bahasa adat memiliki makna lebih umum daripada ‘urf. Karena penggunaan adat  meliputi kebiasaan perorangan dan masyarakat, adapun ‘urf dikhususkan untuk suatu kelompok masyarakat.
Ia ada dua macam :
  1. ‘Urf Sahih : Ia adalah ‘urf yang tidak menyelisihi nas, tidak luput darinya kemaslahatan yang mu’tabar (dianggap) atau tidak mendatangkan kerusakan yang rojihah.
  2. ‘Urf fasidah : Ia adalah ‘urf yang menyelisih nas, atau hilangnya maslahat yang mu’tabar atau mendatangkan kerusakan yang rojihah.
‘Urf merupakan sesuatu yang mu’tabar (dianggap) di dalam syara, akan tetapi bukanlah dalil yang menyendiri dari dalil-dalil fiqih. Hanya saja ia merupakan pokok dari pokok-pokok istinbath yang kembali kepada dalil-dalil syari’ah yang mu’tabar.
Jika syara’ telah menetapkan suatu hukum dan mengaitkan dengan hukum tersebut sesuatu, (dan) tidak terkutif adanya batasan syara’ dan tidak pula lughoh maka ia dikembalikan kepada kebiasaan yang berlaku.
Hukum-hukum yang dibangun di atas ‘urf dan adat adalah bisa berubah, demikian itu jika adat tersebut berubah dengan berubahnya waktu. Ini merupakan makna ungkapan sebagian ulama :

« الأحكام تتغير بتغير الزمان والمكان »

“Sutu hukum bisa berubah-rubah dengan berubahnya waktu dan tempat”.
****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar